Sudah satu setengah minggu saya berada di Sydney dan tinggal di backpackers (sebutan untuk hostel di Australia) di Pitt Street yang jaraknya tidak sampai 3 kilometer dari Sydney Opera House. Sydney memang jadi perhentian saya dari Melbourne sebelum melanjutkan petualangan WHV saya di Brisbane. Minggu pertama saya habiskan dengan menghadiri konferensi tahunan Hillsong Church, jaringan gereja yang saya ikuti selama di Australia. Setelah konferensi selesai, saya mulai berburu rideshare di Gumtree (situs iklan segala ada) sembari menjelajahi tempat-tempat di sekitar Sydney. Ini adalah kali kedua saya mengunjungi kota ini setelah kesempatan pertama saya dapetkan saat perayaan malam tahun baru 2014.
Saya memang punya target untuk angkat kaki sesegera mungkin dari Sydney. Tidak ada yang salah dengan kota ini, tapi semakin lama waktu yang saya habiskan di Sydney, semakin banyak pula dolar yang harus saya keluarkan dan semakin sedikit pula waktu yang saya miliki untuk berburu dan mulai bekerja di Brisbane. Lagi pula, konon sangat kecil peluang orang yang sempat tinggal lama di Melbourne untuk bisa menikmati Sydney. Sydney adalah kota dengan populasi terbesar di Australia, Melbourne ada di peringkat dua, dan Brisbane setelahnya.
Bagi saya, Sydney terasa jauh lebih crowded seperti Jakarta, perjalanan dengan transportasi umum saat itu cukup ribet, bayangkan saya harus menyimpan paper ticket yang sama untuk penggunaan selama seminggu. Beberapa bulan setelah saya meninggalkan Sydney, saya dengar mereka akhirnya mulai menggunakan Opal, kartu perjalanan all-in-one yang bisa digunakan untuk naik kereta, bis, atau ferry. Baguslah.
Kembali ke rencana perjalanan saya, awalnya saya sudah memperpanjang waktu stay saya di backpackers hingga 10 Juli. Beberapa hari belakangan saya bongkar kategori ridesharing/travel partner di Gumtree tapi tidak menemukan tumpangan yang tepat, mungkin tidak banyak yang mau bikin road trip saat winter. Tanggal 8 Juli pagi, saya menemukan dua listing di Gumtree, yang satu diposting cewek asal Perancis, satu lagi diposting cowok asal Estonia, keduanya punya tanggal keberangkatan yang sama, belakangan saya baru ngeh kalau mereka akan melakukan road trip bersama, dengan satu orang lagi dari Meksiko. Targetnya kami akan tiba dalam 6 hari di Brisbane.
Setelah berdiskusi seputar budget lewat SMS, akhirnya saya memutuskan untuk bergabung dengan perjalanan mereka, awalnya saya hampir tidak jadi ikut karena budget sewa mobil sedikit membengkak tapi akhirnya budget bisa dikurangi. Mau tidak mau saya harus membiarkan pembayaran menginap satu malam saya hangus begitu saja karena tidak ada refund di backpackers tempat saya menginap.
Kamis pagi tanggal 9 Juli, kami berempat janjian untuk bertemu di Sydney Central Station yang cuma berjarak 10 menit jalan kaki dari backpackers saya. Saya akan bertemu Laura, si cewek Perancis, untuk mempermudah komunikasi saya akhirnya mencoba menelpon ponsel Laura, ternyata bahasa Inggrisnya masih lebih bagus di SMS dibanding waktu saya berbicara di telpon. Sydney Central Station memiliki hall yang cukup besar di ujung peron-peronnya lengkap dengan tempat duduk sehingga cukup ideal untuk dijadikan meeting point. Laura datang dengan tiga tas besar, jumlah bawaan yang mungkin sama banyak jika saya membawa semua barang saya dari Melbourne. Saya meninggalkan sebagian barang-barang saya di Melbourne karena memang berencana untuk kembali ke sana sebelum WHV saya berakhir.
Saya dan Laura kemudian berjalan ke sisi lain stasiun untuk bertemu teman seperjalanan kami. Laura ternyata juga seorang pejuang WHV, rencananya dia akan melanjutkan trip sampai ke Cairns, kota kecil di Queensland yang jaraknya sekitar 1700 kilometer di utara Brisbane. Tiba di meeting point, saya dan Laura mulai mencari penampakan campervan, beberapa menit kemudian muncul satu Toyota Corolla E120 berwarna putih, lengkap dengan tenda lipat yang terbungkus rapi di atap mobil, parkir di sisi jalan.
Satu orang berkulit sawo matang dan satu orang bule jangkung turun dari mobil. Ya, mereka Cesar dan Eero, teman seperjalanan kami, Cesar seorang marketing profesional yang sedang traveling di Australia, sedangkan Eero adalah seorang pejuang WHV sama seperti saya dan Laura. Langkanya bertemu orang Estonia yang sedang di Australia dengan WHV sama seperti langkanya bertemu orang Indonesia dengan visa yang sama.
Saat mobil datang, saya sudah terpikir betapa melelahkannya perjalanan dengan sedan sekecil ini, ditambah setelah barang bawaan kami yang lumayan banyak. Bagasi belakang penuh sesak dengan tas saya, Eero, dan Laura, beruntung Cesar hanya membawa satu tas karena dia akan terbang kembali ke Sydney. Walaupun begitu kami masih harus menyimpan satu kotak peralatan makan dan satu chiller bag di tengah kursi belakang.

Ya mungkin untuk sewa mobil 6 hari dan dikembalikan di kota yang berbeda, inilah yang kami dapat untuk $513,76, biaya sewa mobil di Australia memang melambung tinggi jika lokasi pengambilan dan pengembalian berbeda. Jarak dari Sydney ke Brisbane sebenarnya ‘hanya’ 900 km dan bisa ditempuh dalam 1-2 hari, jadi seharusnya banyak waktu bagi kita untuk santai-santai.
Kami berempat belum pernah bertemu satu sama lain sebelumnya, hanya Laura dan Cesar yang sempat bertemu beberapa hari sebelum keberangkatan kami, itu pun tidak membahas rute dan perhentian secara lengkap. Tanpa pikir panjang, kami memutuskan untuk mulai bergerak ke arah utara mengikuti Pacific Highway, Newcastle jadi target perhentian kami.
Kami sempat mampir di salah satu supermarket di pinggiran Sydney untuk membeli perbekalan paling tidak buat dua hari ke depan, standar backpackers lah: roti tawar, keju, selai, tuna, pasta, saus. Kami memutuskan untuk bergantian membayar setiap transaksi dan membaginya rata di akhir perjalanan. Kami cukup sadar jika rute perjalanan kami bukan rute antah berantah yang tidak sulit untuk menemukan supermarket. Akibat bagasi yang terlalu penuh, persediaan makanan hanya kami selipkan di sela-sela tas dan di pojok bagasi, sedangkan makanan yang mudah rusak kami simpan di dalam chiller bag.

Sepanjang jalan ke Newcastle, kami mengandalkan Lonely Planet berbahasa Perancis milik Laura, hanya ada satu highlight yang kami temukan: Blackbutt Reserve. Daerah pelestarian flora dan fauna ini memiliki boardwalk yang terdengar cukup menarik dan yang paling penting: gratis. Kami tiba di sana sekitar pukul 3 sore dan setelah salah jalan hampir satu jam, kami menemukan boardwalk yang kami cari. Dengan berbagai eksibisi dan zona-zona yang ada, area ini terasa seperti kebun binatang yang sangat terawat, bedanya kami bisa masuk secara cuma-cuma dan hanya perlu membayar tiket jika ingin memegang dan berfoto dengan koala. Jelas terpampang juga jika uang dari hasil penjualan tiket akan digunakan untuk pelestarian area ini.
Kami meninggalkan Blackbutt Reserve sekitar pukul 5 sore, tepat dengan waktu matahari terbenam. Di awal bulan Juli, matahari baru terbit pukul 7 pagi dan sudah terbenam pukul 5 sore. Sebagian besar pengendara di Australia memilih untuk tidak mengemudi saat gelap, terutama di highway, karena binatang seperti kanguru dan wombat sering muncul tiba-tiba di tengah jalan dan tentu bisa mengakibatkan kecelakaan.
Awalnya kami pikir kami bisa parkir di rest area mana saja untuk membuka tenda di atas atap mobil, tapi Cesar mengingatkan jika di negara bagian seperti Victoria, New South Wales, dan Queensland memiliki pelarangan untuk camping di rest area, terutama di jalur highway. Setelah membongkar Google Maps dan Nokia Map, kami memutuskan untuk bermalam di salah satu caravan park di Twelve Mile Creek, sekitar 45 menit dari Newcastle.
Dengan $35, kami berempat mendapatkan satu unpowered sites (area caravan park yang tidak memiliki sumber listrik) dan diizinkan untuk menggunakan semua fasilitas caravan park mulai dari shower, communal kitchen, hingga guest lounge dengan TV layar datar berukuran besar. Timing yang tepat untuk saya mengikuti berita quick count pemilu presiden di Indonesia yang saat itu memang diliput beberapa media Australia, dilanjutkan dengan menonton salah satu seri State of The Origin, seri pertandingan rugby antara New South Wales (Blues) melawan Queensland (Maroons). Seri ini dinamakan State of The Origin karena pemain-pemainnya bermain membela negara bagian tempat mereka memulai karir mereka sebagai pemain rugby.
Ini adalah kali pertama kami mendirikan tenda di atas mobil dan perusahaan sewa mobil kami tidak menyediakan manual untuk ini, akhirnya urusan tenda ini makan setengah jam sendiri. Tenda kami hanya muat tiga orang, untunglah Eero punya tenda satu orang yang bentuknya mirip kepompong. Formasi inilah yang kami gunakan untuk beberapa hari ke depan.
Kami menghabiskan sisa malam di guest lounge karena tidak ada tempat untuk mengisi ulang baterai di mobil. Manager caravan park sempat menanyakan rencana perjalanan kami dan mengingatkan kami untuk tidak melewatkan Port Stephens, dia bilang gundukan pasir di sana adalah yang terbaik di Australia.

Di hari kedua kami bangun cukup siang, urusan mandi-mandi dan makan pagi baru selesai sekitar pukul 11 siang. Port Stephens memiliki pelabuhan alami yang cukup besar sekitar 134 kilometer persegi, selain pantai dan alam, Port Stephens juga menawarankan beberapa aktivitas seperti tur 4WD di gundukan pasir, sandboarding, hingga camel ride di Stockton Sand Dunes. Kami berempat memutuskan untuk mencoba sandboarding, tiket seharga $24 per orang kami beli di Port Stephens Visitor Center yang berlokasi di Nelson Bay.
Cuaca siang itu cukup cerah namun berangin luar biasa. Bahkan guide kami mengatakan bahwa cuaca seperti adalah cuaca yang paling malesin. Kami mendapatkan instruksi singkat mengenai penggunaan sandboard, yang bentuknya seperti skateboard tanpa roda, dan alih-alih berdiri di atasnya, kami hanya cukup duduk di atasnya. Setelah mencoba turun dari gundukan paling kecil, kami mulai mencoba ke gundukan paling tinggi. Satu pesan saya: tutup mulut saat sandboarding. Jika sedang sial, kita bisa jatuh terguling dan makan banyak pasir halus.

Acara wisata pasir di Stockton Sand Dunes harus kami selesaikan pukul 3 sore. Kalau saya boleh saran, siapkan satu hari full di Port Stephens supaya bisa menjelajahi semua sudutnya. Kami pun melanjutkan perjalanan kami ke arah utara, sepanjang jalan kami mengestimasi kota mana yang akan kami lewati sebelum matahari terbenam. Pilihan kami jatuh ke Taree.
Taree adalah sebuah kota kecil berpenduduk 20.000 jiwa, hanya 2 jam dari Port Stephens atau 317 kilometer dari Sydney. Kami kembali menyewa satu unpowered camping site di salah satu caravan park yang terletak di jalan utama Kota Taree. Dengan harga sewa yang sama seperti semalam sebelumnya, kami mendapat fasilitas yang kurang lebih sama. Keuntungan dari bermalam di caravan park adalah fasilitas kamar mandi dan dapur yang buat sebagian orang adalah fasilitas esensial.
Malamnya, kami mencoba mengevaluasi rencana perjalanan kami. Kami berempat sadar jika dua hari belakangan kami bergerak cukup lambat dan kurang banyak blusukan ke spot-spot wisata yang agak tersembunyi sehingga kami setuju untuk bangun lebih pagi di hari berikutnya.
Keesokan harinya kami sukses memangkas satu jam dibanding hari-hari sebelumnya, ya tidak terlalu buruk lah. Kami melanjutkan perjalanan kami ke utara lewat Pacific Highway, sempat pula kami melewati kawasan penuh asap hasil kebakaran hutan, cukup menarik karena saat itu sedang musim dingin namun masih ada kebakaran hutan di NSW, well this is ‘Straya, mate!
Sebelum memasuki Port Macquarie, kami mengambil exit lebih cepat agar dapat menyusuri sisi pantai melewati Ocean Drive dan Lighthouse Beach, di mana terdapat sebuah mercusuar yang didirikan karena banyak kapal yang karam di area ini. Kami kembali melanjutkan perjalanan sampai akhirnya kami tiba di Urunga, sebuah kota kecil di Bellingen Shire.

Kami masih punya sekitar 3 jam hingga matahari terbenam, perhentian di visitor center untuk minta informasi dan makan siang seadanya rasanya adalah pilihan tepat, staf di sana juga memberitahu kami jika kami ada lokasi free camping di pinggir Kalang River, beberapa ratus meter dari visitor center. Akhirnya ketemu juga area di NSW yang bisa camping gratis!
Dari hasil minta saran di visitor center, kami direkomendasikan untuk mengunjungi Dorrigo National Park yang bisa ditempuh sekitar 40 menit sekali jalan dari Urunga. Bisa dibilang ini adalah pertama kalinya kami berkendara ke arah barat dari Pacific Highway, pemandangannya jauh berbeda dengan pemandangan di pesisir, bergunung-gunung dan lebih banyak pohon. Kami tiba di Dorrigo Rainforest Center sekitar jam 4 sore, walaupun visitor center di sana sudah tutup, akses untuk skywalk masih dibuka, para pengunjung tidak perlu membayar untuk masuk dan dapat memberikan donasi koin seikhlasnya di akses masuk skywalk.

Di area Dorrigo NP juga terdapat beberapa air terjun, karena waktu yang kami punya tidak banyak lagi, kami hanya sempat mengunjungi Dangar Falls, air terjun setinggi 30 meter yang cukup populer di kalangan pemburu pemandangan, di tahun 2012 sempat ada seorang turis Jerman yang tewas karena melompat dari atas air terjun ini.

Saat malam tiba, kami sudah berada di area camping gratis di Urunga, awalnya kami cukup was-was karena hanya kami yang parkir di sana, namun makin malam makin banyak campervan yang parkir di sekitar kami juga. Eero dan Cesar nampaknya lupa untuk mengecek isi gas portabel yang disediakan perusahaan sewa mobil kami, malam itu kami harus memasak pasta dengan api sedang. Memang di saat lapar, pasta dengan saus bolognaise, sedikit garam dan merica, ditambah tomat enaknya bukan main.
Sebelum tidur kami bercanda seputar ramalan cuaca yang mengatakan suhu saat subuh keesokan harinya akan serendah 1 derajat Celcius, agak aneh rasanya kami berjalan semakin ke utara, tetap berada dekat pesisir, tapi suhu bisa turun jauh dibanding pagi hari-hari sebelumnya yang hanya belasan derajat.
Ternyata menang benar, mulai jam 3 pagi suhu turun drastis jadi 1 derajat Celcius. Saya di dalam tenda sudah ganti posisi berkali-kali sampai akhirnya dapat posisi meringkuk seperti ulat bulu, Laura dan Cesar juga sepertinya merasakan hal yang sama. Keesokan paginya, saya memutuskan untuk keluar tenda setelah matahari terbit, diam meringkuk di atas tenda tidak membantu sama sekali. Eero yang keluar dari tendanya juga cukup kebasahan karena uap air, semalam ia menutup rapat tendanya sementara udara di luar minta ampun dinginnya (cek video di akhir postingan blog ini ya).
Target kami di hari keempat ini adalah Byron Bay, kota pantai favorit backpackers dan hippies karena lokasinya yang cenderung di tengah pesisir timur Australia. Mulai diving, surfing, jalur trekking, whale watching, hingga rainforest ada di kota ini. Perjalanan 4 jam dari Urunga bukan halangan, kami juga sudah terlanjur bangun pagi karena kedinginan dan setiap harinya kami juga bergantian menyetir.
Sekitar tengah hari kami sudah berada di Byron Bay Visitor Center, meminta informasi sebanyak mungkin informasi seputar aktivitas di sana dan tentunya juga caravan atau camping park terdekat, di Byron Bay ternyata tidak ada area camping gratis, bahkan yang murah pun tidak. Sebagai daerah tujuan wisata, sebagian besar akomodasi adalah hostel dan banyak peringatan: NO FREE CAMPING IN BYRON BAY. Mungkin banyak traveler kere yang parkir mobil seenaknya dan numpang tidur sampai akhirnya pemerintah kota memperbanyak patroli dan memberi tilang yang cukup besar bagi orang yang kedapatan melanggar aturan ini.
Pilihan camping ground ada di luar Byron Bay, ah tapi ini bisa kami pikirkan nanti. Saat itu hari cukup cerah, waktu yang tepat bagi kami untuk menapaki Cape Byron Walking Track, rute sepanjang 3,7 km mengelilingi area Cape Byron Lighthouse dengan beberapa spot untuk observasi ikan paus dan lumba-lumba, terdapat juga titik Cape Byron yang merupakan titik paling timur dari mainland Australia jika kita berjalan searah jarum jam dari Main Beach, di akhir rute kita mendapatkan kesempatan untuk berjalan di antara hutan hujan sub-tropis. Rute ini juga nampaknya cukup terkenal bagi pecinta trail running lokal.
Sisa hari kami habiskan dengan duduk-duduk di main beach menunggu sunset, nonton permainan perkusi dan tarian impromptu dari orang-orang yang ada di pantai, dan beli sedikit perbekalan untuk sisa perjalanan kami. Eero dan Cesar juga sempat daftar surf lesson yang punya diskon untuk paket 2 orang.
Untuk lokasi bermalam, kami memutuskan untuk ke campground daerah Upper Main Arm, sekitar 40 menit dari Byron Bay. Jalanan menuju campground kami sangat gelap, selain minimnya lampu jalan, jalur ini juga bukan jalur bepergian umum. Saat kami tiba pun kami hampir putar balik karena akses masuknya seperti standar film thriller tengah hutan, sebuah pondok di remang-remang nampak di kejauhan dan ada gubuk kecil dengan perkakas tua yang cuma nampak jika disinari lampu mobil.
Saat mobil kami mundur, ada seorang berjaket spotlight putih mendatangi kami dengan senter. We got no other options, hey? Ternyata dia adalah penjaga campground dan kami belok ke arah yang salah. Dia mengarahkan mobil kami ke salah satu site, di sebelah kami ada beberapa mobil dengan sekelompok orang yang sedang nongkrong di api unggun di depan mobil mereka. Di sisi lain campground juga terlihat beberapa siluet mobil dengan tenda. Campground ini ternyata tidak seburuk yang kami pikir. Fasilitasnya sedikit di bawah campground dan caravan park kami sebelumnya, tapi paling tidak masih lebih baik dibanding kedinginan di Urunga di malam sebelumnya. Campground ini ternyata langganan menjadi tempat camping di acara festival musik tahunan Byron Bay Bluesfest.
Di hari kelima perjalanan kami, tidak banyak perhentian yang masuk di rencana kami, kami masih mempertimbangkan apakah akan masuk ke Gold Coast hari ini atau mencari tempat di sekitar situ. Bagi saya tidak begitu masalah jika tidak ke GC hari ini karena saya akan tinggal di Brisbane dan GC bisa ditempuh kurang dari 2 jam dari Brisbane dengan bis dan kereta.
Kami melanjutkan perjalanan kembali ke area Byron Bay, Eero dan Cesar masih punya agenda belajar surfing. Saya memutuskan tidak ikut karena sewaktu saya tinggal di Bali memang sudah pernah ikut surf lesson juga, malah rasanya di Bali ombaknya lebih enak dan airnya juga jauh lebih hangat. Laura juga tidak ikut karena sudah pernah ikut surf lesson di Perancis. Kami pilih untuk makan siang duluan dengan menu andalan roti isi tuna dan keju, sekaligus membuat beberapa juga untuk Eero dan Cesar.
Banyak yang bilang jika sudah pernah ke Byron Bay, pantai di Gold Coast nggak ada apa-apanya. Mungkin benar juga, setelah kami tiba di Gold Coast, rasanya memang terlalu ‘kota’, rencana awal untuk mencari informasi seputar akomodasi di sekitar sana pun harus bubar jalan karena saat kami tiba di sana hari sudah terlalu sore, ditambah hari Minggu pula. Kami akhirnya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke arah Brisbane dan mencari caravan park sebelum kami masuk area kota, dengan harapan kami tidak terlalu cepat masuk ke Brisbane.
Sempat kami pertimbangkan untuk istirahat sebentar di Pacific Highway dan masuk ke Brisbane sebelum subuh untuk ikut nonton bareng final Piala Dunia 2014 di King George Square tapi berdasarkan informasi teman yang tinggal di Brisbane, area itu ada di tengah kota dan akan susah sekali jika ingin parkir, rencana paling tepat adalah parkir di stasiun kereta yang lokasinya di pinggir kota dan naik kereta ke tengah kota. Terlalu banyak effort rasanya.
Kami menemukan satu caravan park yang lokasinya hanya 20 menit dari Brisbane, cukup bikin happy karena kami iseng menawar harga sewa unpowered site dan mereka memberikan harga $20 untuk mobil dan kami berempat. Demi bisa nonton final Piala Dunia 2014 subuh esok harinya antara Jerman dan Argentina, kami mencoba menelpon McDonald’s terdekat untuk menanyakan jam buka dan ketersediaan TV di sana. Beruntung mereka buka 24 jam dan kita dipersilakan untuk nonton bola di sana.
Pukul jam setengah 4 pagi kami sudah bangun untuk nonton bola, jaraknya sekitar sekilo dari caravan park, setelah memesan super early breakfast, kami duduk di salah satu pojok McDonald’s dan meminta salah satu staf di sana untuk memindahkan channel ke siaran Piala Dunia 2014. Selama kami menonton, banyak orang yang lalu lalang di sekitar kami, hanya segelintir yang nampaknya peduli dengan apa yang ada di TV yang berakhir dengan kemenangan 1-0 Jerman atas Argentina. Ya, sepakbola di sana masih kalah pamor dengan rugby dan footy.

Kami pulang ke caravan park sekitar pukul 7 pagi dan masih sempat untuk menambah sedikit waktu tidur kami. Kami harus mengembalikan mobil pada pukul 2 siang di Brisbane dan berdasarkan peraturan sewa yang kami dapat, kami harus membersihkan mobil kami luar dalam. Akhirnya kami membagi tugas, Laura menjaga tas dan barang bawaan di caravan park, Eero dan Cesar mencuci mobil, dan saya berburu mangkuk makan kecil untuk mengganti mangkuk punya perusahaan sewa yang tertinggal di Twelve Miles Creek.
Sekitar pukul 12 siang kami sudah masuk di Brisbane, ibukota negara bagian Queensland, tempat saya akan tinggal 4-5 bulan ke depan. Saya diturunkan di Fortitude Valley, daerah Chinatown di Brisbane. It’s been a great pleasure to travel with these people, tidak ada yang ingin mendominasi perencanaan trip dan target masing-masing juga tercapai. Total pengeluaran kami untuk makan, akomodasi, dan bensin masing-masing sekitar $250, hanya dua kali lebih mahal dibanding harus naik pesawat dari Sydney ke Brisbane yang pastinya akan melewatkan berbagai tempat seru di antara dua kota itu. If you got WHV, do not leave Australia before you do at least a roadtrip there. It might be fun, it might be lame, but they’re still gonna be a story.
—