Di pertengahan Desember 2016, gw berkesempatan untuk ikutan Digital Engagement Conference yang diadain sama National Democratic Institute (NDI) di Bangkok. Mestinya Pak Kepala Unit yang berangkat tapi karena agak mepet waktunya dan kalo ASN (Aparatur Sipil Negara) agak panjang birokrasinya untuk urus ini itu, akhirnya gw kecipratan kesempatan buat gantiin beliau. Akhirnya kesampean juga ke Thailand, meskipun kali ini bukan dalam rangka liburan.
Gw tiba di Bangkok hari Rabu, 14 Desember. Karena naik AirAsia X, turunnya di Don Mueang. Jadul banget airport-nya macem Halim. Gw berangkat gak pake acara tuker-tuker duit dulu, jadi ya bawa CC sama kartu debit BCA aja. Nggak usah buru-buru tuker duit juga kalo belom keluar loket imigrasi, nanti abis dari loket, turun eskalator, langsung ketemu ATM depan mata. Gw waktu itu ambil 1000 THB (sekitar Rp370ribu) mengingat expense-expense dasar udah ditanggung NDI. Pake debit BCA ada fee tambahan Rp25ribu per transaksi.
Selanjutnya sebagai WNI sejati, yang dicari itu sim card. Nggak usah khawatir juga, di sebelah kanan eskalator turun dari loket imigrasi itu ada konter yang jualan simcard berbagai jenis. Karena gw cuma perlu buat data doang, gw beli yang 199 THB yang isinya 1,5 GB buat 7 hari. Cukup banget lah buat gw yang cuma 48 jam. Lanjut langsung ke akomodasi pake airport transfer yang udah di-arrange NDI.
Sepanjang jalan merhatiin kiri kanan, gak terlalu banyak bedanya sama Jakarta: cuacanya sampe macetnya. Bahkan motor-motornya pun berhenti setelah garis putih meskipun jumlahnya gak semasif Jakarta. Gw stay di Novotel Siam Square. Pas masuk ke area square-nya, langsung bikin inget sama Blok M Square. Masuknya lewat gardu dulu, banyak toko atau ruko berjejer. Yah bedanya lebih tertata sama lebih bersih aja.
Setelah beres checkin, laper. Cek Zomato ternyata gak ada di Bangkok, akhirnya ngandalin Foursquare dan nemu satu tempat makan yang cukup recommended dan di list gw pun udah ada beberapa temen yang pernah ke sana, namanya Som Tam Nua. Makan ayam goreng pake nasi sama thai tea abis 242 Baht (sekitar Rp90ribu).
Sore setelah koordinasi sama tim NDI buat acara besoknya, gw coba orientasi sekitaran pusat kota Bangkok. Beruntung ada @astarimartha yang bantu buat jadi guide buat nyobain public transport di sana, sekalian dikasih kartu Bangkok Mass Transit System (BTS Skytrain) sama kartu MRT juga. Sejak beroperasi dari taun 1999, BTS Skytrain cuma ada 2 line dengan 34 stasiun dan panjangnya total 36km, kalo dari Don Mueang Airport keliatan bakal ada satu line lagi dibangun dari Bangkok ke Bandara itu.
Kalo MRT-nya di sana ada Blue Line dan Purple Line. Blue Line mulai operasi taun 2004, ada 19 stasiun dan panjangnya 20km. Kalo Purple Line mulai operasi taun 2016, ada 16 stasiun dan panjangnya 23km. Bisa dibandingin sama MRT Jakarta fase pertama yang rencananya operasi awal taun 2019, ada 13 stasiun dan panjangnya 15km. Ya agak ketinggalan dikit sih kita.

Gw liat area pasar yang namanya Train Night Market Ratchada. Segala ada mulai dari kuliner sampe jualan baju. Mungkin PKL di Jakarta kalo ditata bisa sekeren di night market ini, coba aja cek Google dan liat fotonya. Dan yang paling penting: bersih dan rapi.
Pulangnya gw sengaja gak turun stasiun paling ujung supaya bisa nyobain skywalk, ini jalur buat pejalan kaki yang posisinya ada di bawah BTS Skytrain. Unik juga sih jadinya di bawah kita mobil yang biasanya lagi macet, atas kita LRT. Skywalk ini nyambungin stasiun-stasiun sama mall yang ada di sepanjang pusat kota Bangkok. Ternyata banyak juga mall-nya.
Digital Engagement Conference
Kembali ke acara utama di besoknya. Tujuan dari acara ini adalah ngebahas berbagai macem masalah yang berhasil di-mapping sama pegawai Bangkok Metropolitan Administration (BMA), sharing dari startup dan komunitas tentang solusi yang bisa dipake untuk beresin masalahnya, sharing dari Pemprov DKI Jakarta lewat Unit Pengelola Jakarta Smart City, dan terakhir ada semacem FGD buat ngebahas masalah kota dan gimana cara beresinnya dengan bantuan teknologi.
Ada pemandangan yang menarik, dari semua peserta dari BMA atau Pemkot Bangkok, mayoritas isinya golongan tua, menurut gw sih di atas 50 taun semua. Kebalikan sama komunitas dan startup yang semuanya masih seumuran gw. Terkait ini kayaknya Pemprov DKI Jakarta lebih oke ya, PNS-PNS yang muda banyak kalo di Jakarta.
Acara dimulai dengan masing-masing distrik lapor hasil pemetaan mereka, dan tentunya gw mepet ke tim NDI karena mesti denger terjemahan mereka. Lanjut dengan presentasi dari komunitas dan startup, ada 3 kelompok yang sharing:
1. Urban Design and Development Center (UddC) – Mereka kasih sample beberapa project yang mereka berhasil bikin pake pemanfaatan big data dan open data. Yang pertama mereka bikin Good Walkability Map di Bangkok yang ngasih skala indikator warna seputar area-area yang nyaman buat jalan, mana yang nggak. Dan yang kedua mereka share project pengumpulan data polusi suara yang pake sistem crowdsourcing. Salah satu alasannya, ada hasil riset yang bilang semakin ribut daerahnya, semakin tinggi tingkat stressnya.
— JAKARTA GIMANA? Pemanfaatan big data udah dipake di Pemprov DKI Jakarta, beberapa di antaranya buat analisa data pengaduan yang masuk via Qlue dan SMS, performa armada Transjakarta, data lalu lintas via Waze, sampe analisa penggunaan Kartu Jakarta Pintar. Di PT Transjakarta sendiri pun mereka juga akan analisa tap in tap out untuk liat pattern perpindahan penumpang jadi nanti kalo bikin rute baru atau nambah bus bisa sesuai demand.
2. YouPin – Ini semacem Qlue buat warga lapor kondisi yang ada di daerah mereka, YouPin ini pake bot di Facebook Messenger jadi tiap ada warga yang lapor ke Messenger bot mereka, mereka akan tanya kategorinya, minta fotonya, sama disuruh pin lokasinya. Saat ini jalur pelaporannya pun belum resmi, tim YouPin masih harus push laporannya ke PNS yang mereka kenal di BMA supaya laporannya ditindak lanjut secara manual. Kalo pelaporan warga jalur resmi via hotline dan itu butuh waktu 2 minggu atau lebih, kecuali terkait lampu lalu lintas yang biasa 24 jam udah diberesin.
— JAKARTA GIMANA? Kanal pengaduan resmi udah ada 7. Bahkan berdasarkan data di Unit Pengelola Jakarta Smart City, di bulan Januari 2016 waktu rata-rata buat beresin masalah di Qlue yang jadi kewenangan Pemprov DKI Jakarta itu 171 jam, di bulan November 2016 makin cepet signifikan jadi rata-rata 8 jam. Salah satunya ini karena ada andil petugas Penanganan Prasarana dan Sarana Umum dan Pekerja Harian Lepas (PHL) dari dinas-dinas yang ada di Jakarta nih.
3. Punmuang – Nah kalo ini kayak aplikasi buat yang suka naik sepeda. Isinya seputar info lokasi-lokasi yang berguna buat diketahui yang naik sepeda. Dan semua data yang dishare di dalemnya ini di-share buat publik pake creative common license.
— JAKARTA GIMANA? Belom sih kalo sepeda, buat pejalan kaki aja PR-nya masih banyak. One at a time lah ya.
Sesi selanjutnya, FGD yang bentuknya semua PNS dari BMA dipecah jadi beberapa grup sesuai topik, di masing-masing grup ada anak startup/komunitas, dan ada fasilitatornya. Ada beberapa isu yang dibahas sekaligus ide solusinya, jadi belum terimplementasi saat ini. Langsung aja sekalian gw bahas isi FGD-nya ya:
TRAFFIC alias LALU LINTAS
- Masalah: More cars, less road. Dan perilaku berkendaraan yang masih buruk. (senasib sama Jakarta nih)
- Solusi: (1) mengembangkan platform untuk mengirimkan laporan lalu lintas, (2) aplikasi untuk mengirimkan traffic alert yang bersumber langsung dari petugas, (3) ada aplikasi tracking bus, pemasangan Area Traffic Control System agar lampu lalin dapat diatur berdasarkan traffic alert dan CCTV, (4) adanya aplikasi untuk kasih saran rute alternatif, (5) ada akun media sosial yang selalu retweet informasi, (6) ada papan informasi di jalanan
- Saat ini: BMA udah punya data collection platform, data dikumpulin setiap hari oleh Dinas Perhubungan
— JAKARTA GIMANA? Laporan lalu lintas terutama sumber kemacetan bisa dilapor di Qlue dan Waze, aplikasi tracking bus udah ada Trafi, untuk rute alternatif ya jelas Waze lah ya, akun medsos buat RT info lalin udah banyak malah yang resmi ada @TMCPoldaMetro.
ENVIRONMENT alias LINGKUNGAN HIDUP
- Masalah: (1) Air yang terpolusi. Sumber polusinya dari area penduduk dan pabrik. Pintu air di kanal-kanal yang ada sulit dibuka. Kalo lagi hujan, kotoran dari daratan kebawa ke sungai tapi sungainya gak ngalir lancar jadi bau. (2) Warga yang bangun rumah di kanal. Pemerintah udah coba pindahin dengan cara bangun rusun tapi lokasinya dirasa terlalu jauh jadi nggak ada yang mau pindah, (3) Bangkok kekurangan taman kota
- Solusi: (1) gunakan sosial media yang sudah ada, bisa menggunakan sistem YouPin. Setingkat RT atau RW bisa lapor dalam grup. BMA tersambung di sistemnya sehingga laporan nggak perlu tertulis fisik (2) adanya bus gratis buat warga yang tinggal di rusun, (3) penggunaan sensor untuk memantau polusi udara, (4) app yang berisi info lokasi taman, jam buka, fasilitas, dll, (4) Volunteering. Dengan cara ngumpulin relawan yang punya minat dan kegiatan yang sama bisa buat ngeberesin laporan dari warga seputar kebersihan
— JAKARTA GIMANA? Urusan pintu air udah dikupas abis sama Ahok di 2015 dan 2016 rasanya, pintu-pintu air udah dikasih petugas Dinas Tata Air yang bener-bener mantau, bahkan di beberapa pintu air ada alat berat Dinas Lingkungan Hidup buat ngeruk, rumah pompa juga dicek berkala maintenance-nya. Seputar mindahin warga ke rusun yang agak jauh dari tempatnya? Udah dikasih bus gratis sama Pemprov DKI Jakarta, naik TJ gratis, dapet KJP pula. Urusan volunteering? Udah ada situs semacem Indorelawan.
CRIME alias KRIMINALITAS
- Masalah: Penyalahgunaan obat-obatan. Disebabkan oleh pengaruh media, salah satunya TV karena TV kabel di Bangkok tidak melalui sistem sensor dan banyak warga yang menggunakan TV kabel.
- Solusi: (1) kumpulin data dari polisi atau badan statistik, untuk kemudian diolah dan dipublikasikan mengenai pemetaan daerah rawan di Bangkok, (2) menggunakan public figure di Bangkok untuk persuasif, (3) aplikasi semacem whistleblower untuk lapor penggunaan narkoba
- Saat ini: antara badan statistik dan dinas elektronik sudah melakukan kolaborasi pengolahan data, perlu ada kolaborasi lebih luas lagi antar kantor pemerintah karena kolaborasi dengan swasta terlalu ribet
— JAKARTA GIMANA? Sepertinya di debat final cagub DKI cukup jelas program yang saat ini ada di Jakarta. Untuk tempat hiburan ada “jatah” 2x razia, untuk taman diperbanyak supaya lebih banyak aktivitas, anak-anak di rusun dikasih kejuaraan bola, dll.
DISASTER alias KEBENCANAAN
- Masalah: Kalo ada kebakaran, orang gak tau mesti lapor ke mana. Harusnya ke 199 (damkar) tapi banyak yang salah telepon ke 191 (layanan kedaruratan). Banyak orang yang kurang peduli dengan kebencanaan di sekitarnya.
- Solusi: Semua operator telepon harus memasukkan nomor darurat di dalam phone book secara default. Harus ada platform untuk nampilin informasi tentang markas damkar, jumlah truk dan petugas. Harusnya hanya ada 1 nomor buat urusan darurat.
— JAKARTA GIMANA? Liat di bawah ini aja deh ya 🙂
Sekelar acaranya, ke mall terdekat buat beli oleh-oleh thai ice tea sama seaweed. Dan besok paginya langsung balik lagi ke Jakarta.
Ngeliat dari berbagai isu yang ada di Bangkok dan ide untuk solusi buat masalah-masalah mereka, gw malah jadi bersyukur kalo Jakarta udah bisa punya banyak kelebihan dari sisi pemerintahannya.
Temen-temen startup/komunitas di sana bilang kalo BMA tertutup banget buat share datanya ke publik, sementara di Jakarta data udah bisa diakses lewat platform kayak data.jakarta.go.id, smartcity.jakarta.go.id/maps, sampe apbd.jakarta.go.id. Bahkan salah satu dari mereka sempet nyeletuk kalo JSC justru diajak ke sini biar PNS-PNS di sana bisa melek kalo pentingnya sharing data dan kolaborasi sama warganya itu apa aja.
Dan sampe akhirnya keluhan atau laporan warga bisa ditindak pun juga bukan melulu karena aplikasinya canggih atau gimana, tapi ada sistem di belakangnya yang mendukung yaitu ada SOP penanganan, ada dasar hukumnya, dan pastinya ada reward/punishment untuk aparatur yang kerja di lingkungan Pemprov DKI Jakarta.
Kalo udah kayak gini, yakin mau ganti gubernur? Kalo gw sih pilih yang bisa lanjutin aja lah. Kali ini kita “menang banyak” lawan Bangkok, siapa tau Jakarta bisa “menang banyak” lagi dari kota-kota besar lainnya di Asia Tenggara, Asia, bahkan dunia. Amin!

Secara pembangunan fisik, Jakarta bisa cepat mengejar Bangkok. Tapi pembentukan sikap manusia yang membuat fasilitas-fasilitas fisik itu jadi efektif nampaknya akan butuh waktu lebih banyak lagi.
Gua sangat kuatir melihat masih kurang agresifnya sosialisasi hal-hal yang nampaknya remeh seperti memberi tempat duduk buat yang hamil / tua / perempuan, alur dan jalur keluar masuk lift (dan nantinya MRT, tentunya), penggunaan sisi diam dan sisi berjalan di eskalator (yang bisa kita lakukan mulai dari eskalator di mal-mal), mengantri, mobil melambat di zebra cross, penggunaan bahu jalan, dll.
Mengubah dan membentuk habit baru bukan kerjaan semalaman. Still hoping there are some initiatives to start shaping these new habits as early as possible. Sekali lagi, menurut gua these new habits yang bakal bikin infrastruktur jadi lebih efektif dan efisien. Most people in Bangkok have fairly been great in this aspect (except their rude and taking-it-for-granted cab drivers.)
Kak what do you think about banyaknya motor di Jakarta?
Menurut saya beberapa tahun belakangan ini jumlah motor di Jakarta jadi banyak banget, dan hal ini enggak berbanding lurus dengan kesadaran masyarakat akan keselamatan dan peraturan berlalu lintas (melawan arus!).
Tentunya ini bakal jadi masalah, iya enggak sih?
I would like to read your thoughts!
Halo Sabrina, menurut gw juga udah kebanyakan sih. Tapi ya itu, dari pemerintah harus bisa nunjukin kalo public transport udah mulai reliable, mulai dari lokasi park-n-ride sampe nantinya bener-bener bisa jalan kaki dikit dari rumah udah dapet feeder TJ. Seiring public transport oke, nanti mulai diperbanyak pembatasan jalur kayak di Thamrin, parkir motor dimahalin. Kalo kondisi kayak sekarang, gw aja masih naik motor karena kalo gw itung masih ada yang lebih murah naik motor dibandingkan bus. Dan seputar lawan peraturan, semuanya mau buru-buru sih. Ya itu ntar mesti dipertegas lagi penegakan hukumnya juga.